Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) adalah koperasi peternak sapi di Bandung. KPBS Pangalengan berdiri pada 1969.
Peternak sapi di Bandung Selatan muncul sejak zaman Belanda. Dan saat itu, Pangalengan merupakan penghasil susu perah sapi.
Ketika orang Belanda kalah perang dan harus meninggalkan Pangalengan, mereka meninggalkan peternakannya.
Peternakan tersebut kemudian diteruskan oleh dan diurus peternak sapi di Bandung yang ada di Pangalengan, Bandung Selatan.
“KPBS didirikan oleh para tokoh peternak Pangalengan. Satu di antaranya adalah Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Bandung, dokter hewan Daman Danuwijdaja,” kata Ketua Umum KPBS, H Aun Gunawan di Kantor KPBS, Pangalengan, dikutip dari Tribun Jabar.
Peternak Sapi di Bandung Selatan Dapat Bantuan
Saat itu, KPBS mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa alat pendingin (cooling unit). Bantuan itu diperoleh karena Daman Danuwijdaja.
Menurut Aun, susu itu hanya bisa bertahan satu jam sampai dua jam sebelum basi. Jadi memang memerlukan alat penanganan khusus, seperti alat pendingin (cooling unit).
KPBS, kata Aun, terus berkembang. Aun sendiri mulai bergabung dengan KPBA pada 1987.
“Saya mulai bergabung dengan KPBS ini. Pas saat pembangunan kantor KPBS dibangun,” katanya.
Sepeninggal Daman yang wafat pada Februari 1995, KPBS tetap bertahan hingga sekarang.
KPBS, menurut Aun, merupakan koperasi susu yang mempunyai pengolahan turunan yang berbentuk industri.
“Kami punya pabrik pengolahan pasteurisasi, yoghurt, keju mozarella, Sebanyak 20 persen susu dari kami telah diolah sendiri di industri milik kami sendiri,” katanya.
KPBS Pangalengan Pasok Frisian Flag dan Ultrajaya
Susu KPBS juga, kata Aun, dipasok ke Frisian Flag dan Ultrajaya. Kedua perusahaan menjadi mitra KPBS yang saling menguntungkan.
Menurut Aun, KBPS merupakan koperasi yang memiliki penerimaan susu digital dari peternak. Digitalisasi baru dilakukan empat tahun yang lalu.
“Kami mendapat bantuan dari negeri Belanda. Percontohannya, bahwa sistem penerimaan susu namanya MCP (Milk Collecting Point). Titik penerimaan susu,” katanya.
Perlengkapan itu sudah dilengkapi komputer, mesin pendingin, dan timbangannya langsung. Anggota cukup bawa susu dan kartu barcode.
“Jadi di sebuah alat ditap, maka muncul nama peternaknya nomor id sekian. Susunya ditimbang, konek langsung dengan komputer kami di kantor,” kata Aun.
Menurut Aun, awalnya pemberlakuan MCP sempat membuat anggota bingung. “Bingungnya kan ketat peraturannya, kan. Tidak boleh pakai ember biasa tapi harus pakai milk can yang almunium,” katanya.