DI Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, tak hanya ada Goa Jepang, tapi ada Goa Belanda. Jaraknya dari Goa Jepang kira-kira 700 meteran. Untuk sampai ke sana pengunjung harus menelusuri jalan setapak yang di samping kanan kirinya terdapat pepohonan yang rindang. Kadang monyet berekor panjang bisa terlihat di sela-sela pepohonan.
Untuk masuk ke Goa Belanda Taman Hutan Raya Ir H Djuanda ini, harus menggunakan penerangan. Biasanya seperti di Goa Jepang, banyak warga yang menyewakan senter Rp 5.000. Goa ini ukurannya lebih besar ketimbang Goa Jepang, sehingga tidak terlalu pengap. Lagi pula goa ini tembus ke arah Maribaya.
Jika masih kuat dan ada waktu sebaiknya teruskan perjalanan menelusuri jalan setapak ke Maribaya. Di sana pengunjung bisa menyaksikan penangkaran rusa dan Curug Omas. Banyak tukang ojek yang menawarkan jasanya untuk mengantar dengan tarif Rp 100.000.
Goa ini bukan hanya tempat wisata, tetapi menyimpan sejarah saat penjajahan Belanda. Dibangun pada 1906, goa ini merupakan terowongan penyadapan aliran air Sungai Cikapundung untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dibuat oleh BEM (Bandoengsche Electriciteit Maatschappij).
Goa Belanda Beralih Fungsi
Kemudian pada 1918, terowongan ini beralih fungsi untuk kepentingan militer dengan penambahan beberapa ruang di sayap kiri dan kanan terowongan utama. Untuk menambah akses, di sektor kiri ditambah pintu untuk pasokan logistik dan di sektor kanan ditambah untuk ventilasi.
Bila melihat ke atas, pengunjung bisa melihat sebuah goa kecil yang berada di atas Goa Belanda. Untuk ke goa tersebut disediakan titian. Goa kecil tersebut dalam keterangan merupakan ruang jaga.
Setelah kemerdekaan, Goa Belanda masih berfungsi militer sebagai gudang mesiu bagi Pemerintahan Indonesia. Baru pada 1970-an mesiu-mesiu ini dipindahkan.
Untuk PLTA, saat itu, Belanda membangun kembali jalur penyadapan baru melalui saluran-saluran air bawah tanah yang muncul kembali ke permukaan tanah di Pintu II Tahura dan ditampung di Kolam Tandon Harian yang dikenal dengan “Kolam Pakar”.