WARGA Tionghoa Bandung banyak yang sudah lama menetap di kota ini. Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto (Granesia, 1984) disebutkan sebagian warga Tionghoa di Pulau Jawa pindah ke Bandung ketika terjadi Perang Diponegoro (1825-1830). Mereka terus berkembang hingga melahirkan pecinan atau permukiman warga Tionghoa.
Di Bandung, sebagian mereka tinggal di Kampung Suniaraja dan sekitar Jalan Pecinan Lama. Mereka menetap dan mencari nafkah di sana. Kemudian mereka menyebar ke Jalan Kelenteng pada 1885. Bukti banyak warga Tionghoa di sana adalah berdirinya Vihara Satya Budhi.
Warga Tionghoa mulai membuka toko di kawasan Pasar Baru pada 1910. Adalah Tan Sion How, sang pelopor yang mendirikan Kios Jamu Babah Kayu di Jalan Belakang Pasar sekarang. Kios Jamu Babah Kayu yang menjual jamu alami tanpa bahan pengawet ini hingga sekarang masih tetap buka. Kendati gedung-gedung baru yang bertingkat mulai mengitari kios tersebut.
Pasar baru sebagai pusat bisnis kala itu masih terlihat sisanya sampai sekarang. Satu di antaranya adalah Toko Kopi Kapal Selam. Toko kopi ini berdiri pada 1930. Bentuk bangunannya tidak banyak berubah, pemiliknya masih mempertahankan gaya lama.
Tidak hanya bangunan, logo yang tercantum di kartu nama pemilik toko ini masih bergaya lama. Di logo tersebut ada gambar kapal selam dalam lingkaran. Di kapal selam tertera angka 7, di bawahnya ada tulisan Khin Hin Hoo, Bandoeng Kopi Boeboek 100%. Kemudian di luar lingkaran ada tulisan Tjap Kapal Silam.
Angka angka 7 di kapal selam itu, menurut pemilik toko, Chandra (55), adalah nomor gedung yang jadi toko sekarang. “Dulu mah di sini masih jarang rumah. Jadi toko ini meski di tengah masih kebagian nomor yang kecil,” kata Chandra ditemui di tokonya di Jalan Pasar Barat No 42 Bandung, Senin (13/4/2015).
Pecinan Setelah Peristiwa BLA
Ketika peristiwa Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946, kios-kios di Pasar Baru dibakar tentara Belanda. Wilayah Bandung terpisah menjadi utara dan selatan. Kedua wilayah dibatasi rel kereta api yang membujur Cimahi hingga Kiaracondong. Wilayah Utara dikuasai Belanda dan selatan dikuasai pribumi dan warga asing.
Akibat peristiwa itu warga Tionghoa mengungsi ke kawasan Tegallega, Kosambi, Sudirman, dan Cimindi. Dari Pasar Baru, kawasan Pecinan meluas ke daerah-daerah tersebut. WargaTionghoa yang dan pribumi pun bersatu kembali. Belanda menyebut kawasan ini “Groote Post Weg”.
Bahan: Tulisan di dinding Museum Mini China Town, Jalan Kelenteng.