UU Tipikor: Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan dalam ‘Keadaan Tertentu’ dapat Dijatuhi Hukuman Mati

SERBA BANDUNG – Bahwa dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ternyata mengatur mengenai ‘kategori’ kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a PERMA Nomor 1 tahun 2020, menyatakan bahwa “Kategori (korupsi-red) paling berat, lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Dalam lampiran PERMA dimaksud, mengatur pula bawa untuk kategori ‘paling berat’ maka hukumannya adalah penjara 16 sampai 20 tahun atau seumur hidup dan denda Delapan Ratus Juta Rupiah sampai dengan Satu Miliar Rupiah.
Apabila mengacu kepada ketentuan tersebut, maka hukuman terhadap koruptor dengan nilai fantastis (diatas Seratus Milyar Rupiah), selayaknya dihukum penjara minimal 16 sampai 20 tahun atau seumur hidup.
Selain itu, dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam ‘keadaan tertentu’, pidana mati dapat dijatuhkan. Tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam ‘keadaan tertentu’ adalah tindak pidana yang dilakukan saat kondisi tertentu yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana.
Kondisi tertentu tersebut, misalnya saat bencana alam nasional, saat negara dalam kondisi krisis moneter, saat pengulangan tindak pidana.
Dalam hal demikian, pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan pidana mati.
Dikutip dari laman bnn.go.id, Jimly Asshiddiqie, mantan ketua MK mengatakan, isu hukuman mati tidak perlu diperdebatkan lagi, yang terpenting hukuman itu diimplementasikan dan dijalankan eksekusinya. Komitmen politik hukum Indonesia pun sudah jelas menentang penghapusan hukuman mati.
Pada 30 Desember 2007 silam, majelis hakim MK menolak permohonan judicial review dari 5 terpidana mati untuk menguji secara materiil UU no.22 tahun 1997 tentang narkotika yang dianggap melanggar pasal-pasal 28A, 28i ayat (1), dan ayat (4)UUD 1945.
Hal ini sudah jelas mengilustrasikan bagaimana sikap Negara Indonesia untuk menolak penghapusan hukuman mati.
Hukuman mati bagi koruptor, sebagaimana disampaikan sebelumnya, pernah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999, yang diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, hingga saat ini belum ada koruptor yang divonis hukuman mati oleh pengadilan.
Dikutip dari laman mkri.id, Mahkamah Konstitusi (MK) pun pernah menggelar sidang pengujian materiil Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pada Senin (18/12/2023).
Permohonan Perkara Nomor 157/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh tiga mahasiswa yaitu Michael Munthe, Teja Maulana Hakim, dan Otniel Raja Maruli Situmorang.
Michael Munthe adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kemudian Teja Maulana Hakim dan Otniel Raja Maruli Situmorang, keduanya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam.
Para Pemohon menjelaskan, ancaman pidana mati tidak dicantumkan langsung dalam Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 UU Tipikor. Ancaman pidana mati bagi pelaku pidana korupsi baru bisa dijatuhkan apabila telah memenuhi syarat dalam keadaan tertentu sebagaimana Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Menurut para Pemohon, hukuman pidana mati harus dijatuhkan langsung kepada pelaku agar menimbulkan efek jera yang kuat.
Menurutnya, keamanan kejahatan sering diabaikan karena kejahatan tidak ditanggapi dengan serius dan tidak mendapat perhatian publik. “Beberapa cenderung hilang tiba-tiba dan juga mendapatkan pengampunan,” tutur para pemohon.

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto tidak setuju penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi./setneg
Belakangan, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyatakan ketidak setujuannya terhadap penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Prabowo mengungkapkan bahwa hukuman mati tidak memberikan ruang koreksi apabila terjadi kesalahan dalam proses hukum.
Kalau bisa kita tidak (melakukan) hukuman mati karena hukuman mati itu final. Padahal mungkin saja kita yakin 99,9 persen dia bersalah. Mungkin ada satu masalah yang ternyata dia korban, atau di-frame. Kalau hukuman mati final, kita nggak bisa hidupkan dia kembali,” kata Prabowo dari kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Prabowo menjelaskan bahwa sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia, belum ada presiden yang menerapkan hukuman mati untuk kasus korupsi, meskipun undang-undang mengizinkannya.
Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, memang membuka kemungkinan hukuman mati.
Pasal itu menyatakan “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Namun, tidak ada penjelasan rinci mengenai apa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu.”
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, memberikan penjelasan terkait pernyataan Presiden Prabowo Subianto. Prabowo yang menyatakan tidak sepakat jika koruptor dihukum mati.
Yusril menjelaskan, dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan keadaan tertentu bagi napi kasus korupsi yang bisa dijatuhi hukuman mati. Kala itu, Yusril yang menjabat Menteri Hukum dan Perundang-undangan era Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid, ikut merancang UU Tipikor.
“Saya sendiri ketika itu mewakili Presiden membahas RUU tersebut dengan DPR. Dalam keadaan tertentu itu adalah keadaan-keadaan yang luar biasa seperti keadaan perang, krisis ekonomi maupun bencana nasional yang sedang terjadi,” jelas Yusril kepada media beberapa waktu lalu.***